Liputan6.com, Jakarta - Dengan sepeda tua, Salim Said tiba di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jumat pagi, 1 Oktober 1965. Belum turun dari ontelnya, ada teman yang berdiri di halaman depan fakultas berteriak kepadanya.
"Lim, Papinya Rully diculik katanya agen CIA," seru rekannya itu kepada Salim, seperti ditulis dalam bukunya, Gestapu 65 PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto.
Yani diculik dan dituduh agen CIA segera mengingatkan dirinya pada beberapa waktu sebelumnya tentang Dewan Jenderal, yang menurut PKI akan mengkudeta Sukarno atas bantuan CIA.
Rully sendiri merupakan putri Letnan Jenderal TNI Ahmad Yani, Panglima Angkatan Darat kala itu. Dia mahasiswi setahun di belakang Salim Said.
Mendengar kabar penculikan Jenderal Yani, Salim yang kala itu berusia 24 tahun langsung mengayuhkan sepedanya ke rumah Brigjen TNI Sugandi di Jalan Diponegoro 54. Jenderal yang lama mendampingi Sukarno sebagai ajudannya ini adalah Direktur Penerangan Staf Angkatan Bersenjata. Dia juga menjadi pimpinan kantor media, Angkatan Bersenjata, tempat dirinya bekerja sebagai reporter pemula.
Tak lama ia tiba di kediaman Sugandhi, tuan rumah itu muncul. Sugandhi baru saja pulang dari rumah beberapa Jenderal yang jadi korban pembantaian gerakan 30 September 1965.
"Pagi itu dia bercerita mengenai darah yang masih berceceran di rumah-rumah para koleganya yang dibantai menjelang subuh," tutur Salim Said yang juga guru besar ilmu politik Universitas Pertahanan ini.
Malam 30 September itu menjadi momen durjana bagi para Jenderal yang bertugas di Staf Umum Angkatan Darat (SUAD). Tengah malam, mereka diculik oleh pasukan yang dipimpin oleh Letkol Untung Syamsuri, dan berakhir dengan pembantaian sadis.
Para jenderal itu menjadi sasaran pasukan Tjakrabirawa lantaran dinilai dapat menentukan arah perkembangan Angkatan Darat. Oleh Untung, mereka dianggap tidak loyal kepada Bung Karno.
Para jenderal yang diculik pada malam Jumat kelabu itu adalah Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi), Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi), Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan).
Kemudian Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen), Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik), Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat).
Sementara Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Namun putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan dia, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Jasad mereka ditemukan pada 3 Oktober 1965.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban dalam operasi ini. Mereka adalah Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena), Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta), Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta).
Teka Teki Dewan Jenderal
Jelang tragedi berdarah Gerakan 30 September (G30S/PKI), banyak desas-desus soal adanya Dewan Jenderal. Dewan ini berisikan anggota dari sejumlah jenderal Angkatan Darat yang dikatakan sedang merancang untuk menggulingkan pemerintahan yang kala itu dipimpin Sukarno. Momentum terdekatnya adalah peringatan Hari ABRI 5 Oktober 1965.
Dokumen CIA juga pernah melacak kebenaran Dewan Jenderal ini. Namun lebih banyak sumber mengatakan itu masih dalam bentuk wacana.
Dikatakan isu ini muncul saat CIA mendekati Jenderal Ahmad Yani yang ketika itu tengah tugas belajar di Amerika. Pendekatan tersebut dilakukan untuk membentuk Dewan Jenderal terkait upaya kudeta terhadap Sukarno.
Ahmad Yani pernah mengutarakan ide CIA ini kepada para sohibnya di Angkatan Darat. Namun ide itu tidak mendapatkan respons dari mereka lantaran menimbulkan pro dan kontra.
Di sisi lain, Presiden Sukarno juga disebutkan kewalahan menghadapi Angkatan Darat. Nasakom yang digaungkan Sukarno kala itu tidak mendapatkan simpati di hati tentara Aangkatan Darat. Selain itu, instruksi konfrontasi dengan Malaysia juga tidak dijalankan sepenuh hati sehingga menimbulkan anggapan tak loyal kepada Bung Karno. TNI AD bahkan lebih memilih sibuk mengatur barisan anti-Komunis.
"Kondisi ini mendorong Sukarno untuk tidak punya pilihan lain, kecuali mengganti Panglima Angkatan Darat, Letjen Ahmad Yani," kata Salim Said dalam bukunya Gestapu 65 PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto terbitan Mizan, 2014.
Dengan begitu, Jenderal yang akan didapuk selanjutnya pengganti Yani akan sesuai dengan sosok pilihan Sukarno. Orang ini akan memberikan angin segar bagi kondisi politik kala itu.
"Pasca Yani akan lebih mudah diatur oleh Sukarno. Dengan cara itu diharapkan Angkatan Darat akan mendukung gagasan Nasakom dan lebih bersahabat kepada PKI seperti sikap angkatan udara di bawah Omar Dhani," ucap Salim Said.
PKI yang hubungannya terbilang mesra dengan Sukarno, juga menyimpan perseteruan hebat dengan Angkatan Darat. Gesekan keduanya semakin meruncing, seiring usulan PKI untuk membentuk angkatan ke-5 dengan mempersenjatai buruh dan tani ditolak TNI AD. Banyaknya aksi anti-Komunis yang digelar menambah panasnya situasi politik.
"PKI juga ikut melancarkan kampanye terhadap kelompok yang dituduh tidak loyal kepada Sukarno. Harian Rakyat, koran resmi PKI edisi 4 September bahkan secara terang-terangan menuduh para Perwira Angkatan Darat melancarkan taktik maling teriak maling dengan menyebut PKI yang sedang merencanakan sebuah kudeta," ujar Salim Said .
Bahkan, Arin Kusumaningrum dalam bukunya Gerakan Makar 30S/PKI menulis, bahwa isu Dewan Jenderal yang akan mengkudeta Sukarno diembuskan dari PKI.
"PKI menyebarkan isu yang bersumber dari dalam institusi TNI AD itu sendiri, yaitu isu dewan jenderal," tulis Arin.
Menurut dia, TNI yang sejak berada di bawah komando langsung Sukarno telah diberi predikat sebagai aparatur revolusi dan saka guru revolusi.
Untuk menangkal isu Dewan Jenderal yang akan kudeta Sukarno, dikisahkan bahwa mantan ajudan Sukarno, Mayor Sugandhi sempat menemui Presiden pada Kamis pagi, 30 September 1965. Dalam perjumpaan itu, dia membantah kabar burung adanya Dewan Jenderal yang merencanakan perebutan kekuasaan. Sugandhi juga meyakinkan Sukarno bahwa Jenderal Ahmad Yani sangat loyal kepadanya.
Namun ucapan itu dibalas dengan bentakan Sukarno. Sambil marah, Sukarno mengatakan,"Gandhi, kau tahu apa, kau itu sudah dicekoki Nasution." Gandhi pun diusir oleh mantan bosnya itu.
"Dia menceritakannya kepada saya dengan nada sedih," tulis Salim Said dalam bukunya itu.
Sukarno yang mendengar isu Dewan Jenderal ini lantas berniat untuk menghadirkan para jenderal ke Istana. Ada sejumlah jenderal yang memang terkenal dekat dengan Sukarno secara pribadi. Para jenderal ini yang memiliki posisi kerja di sekitar Istana Presiden.
Sehingga, dikatakan pada waktu itu Presiden Sukarno meminta beberapa jenderal itu untuk menindaklanjuti apa yang disebut Dewan Jenderal. Orang-orang itu adalah Oemar Dani dan DN Aidit serta beberapa lainnya.
Namun, Presiden Soekarno tidak pernah mengutus siapa pun untuk memulai misi ini. Hanya presiden pernah berkeinginan untuk mengonfirmasi tentang isu tersebut. Misi itu disebutkan murni idenya DN Aidit yang disampaikan kepada Presiden Sukarno dan lantas disetujuinya. Laksamana Omar Dani pun diminta turut membantu gerakan.
Seiring suhu politik di Indonesia yang memanas, ditambah kesehatan Soekarno tiba-tiba menurun, PKI mulai khawatir Angkatan Darat bakal mengambil alih kekuasaan jika presiden wafat atau tidak mampu bertugas. Mereka menggelar operasi untuk melenyapkan lawannya pada 30 September bersama pasukan pro-PKI di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung.
Akhirnya teka-teki tentang ada tidaknya Dewan Jenderal masih misteri. Isu itu tidak diketahui secara jelas hingga saat meletusnya G30S/PKI yang menewaskan 7 Jenderal Pahlawan Revolusi itu.
No comments:
Post a Comment